Disable Preloader

Berita

05 Oktober 2021

Hidrogen, Energi Hijau Masa Depan untuk Kemandirian Energi

Serpong - Peneliti Pusat Riset Fisika – Badan Riset dan Inovasi Nasional (PR Fisika – BRIN), Deni Shidqi Khaerudini diundang oleh Universitas Andalas Jurusan Teknik Mesin, untuk menyampaikan Kuliah Umum berjudul 'Teknologi Hidrogen sebagai Energi Hijau Masa Depan untuk Kemandirian Energi Indonesia', pada Selasa (5/10). Deni menginformasikan tentang masa depan energi baru terbarukan yang ada di Indonesia dan dunia,. Dan pentingnya melanjutkan hasil penelitian yang terkait dengan energi bersih.

Diungkapkan oleh Deni, pada saat presiden Jokowi mengikuti acara yang dilaksanakan oleh UNFCC (Badan PBB bagian perubahan iklim) di Paris pada bulan Desember tahun 2015, Indonesia telah ikut berkomitmen dan bahkan sudah diimplementasikan dalam Undang Undang untuk melakukan langkah nyata ke arah ekonomi hijau (green economy). “Amanat itu tercantum dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Kesepakatan Paris tentang pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) oleh negara sebesar 29% (kemampuan sendiri) atau 41% (bantuan internasional) pada tahun 2030 dengan menyampaikan Nationally Determined Contributions (NDC),” ujarnya.

“Sektor energi berpotensi dapat mengurangi GRK sebesar 314-398 juta ton CO2 pada tahun 2030, melalui pengembangan energi terbarukan, penerapan efisiensi energi, konservasi energi, serta energi bersih lainnya,” ungkap Deni.

Menurut Deni, sudah ada beberapa komitmen nyata Indonesia terkait perubahan iklim. “Aksi nyata untuk mengurangi dampak perubahan iklim, antara lain melalui moratorium konversi hutan dan lahan gambut untuk mengurangi kebakaran hutan sebesar 82%, mendorong pembangunan hijau melalui pengembangan kawasan industri hijau seluas 12.500 hektar di Kalimantan Utara, serta membuka investasi dalam transisi energi melalui pengembangan biofuel, industri baterai lithium, dan kendaraan listrik,” terangnya.

“Bukti nyata bahwa pemanasan global memang terjadi. Dengan rentang 100 tahun, luas es abadi di kutub tiba-tiba menghilang. Berdasarkan laporan, kutub es abadi semakin berkurang dan terus berkurang. Artinya kita sendiri harus berupaya dengan mereduksi GRK tadi,” jelas Deni.

Perubahan iklim bumi dan dampaknya di masa kini seperti cairnya kutub di Antartika, bahwa luas es abadi sudah menjadi tidak abadi, di Alaska es abadinya telah mejadi sungai. Di Indonesia yaitu di Krakatau Posco (Cilegon, Banten) menghasilkan 16 juta ton CO2 per tahun. Gunung Etna di Italia, meletus mengeluarkan 5,8 juta ton CO2 per tahun. Kebakaran hutan dengan luas area sekitar 6879 km2 pada tahun 2011 di Richardson Backcountry  menghasilkan CO2 dengan jumlah yang masif. Perkembagan tingkat pencemaran CO2 dapat dilihat melalui https://www/co2.earth/. “Berdasarkan data dan fakta dari Juli tahun 1955 hingga sekarang trennya terus meningkat. Kita berharap trennya segera turun dengan aksi-aksi energi bersih contohnya dengan penggunaan hidrogen,” tutur Deni.

Deni mengilustrasikan CO2 seperti selimut, Kita memerlukan CO2 untuk tanaman bernafas dan sebagainya. Tetapi jika terlalu berlebihan juga tidak baik. Lapisan CO2 di atmosfir seperti selimut untuk bumi, Selimut mungkin baik untuk  menghangatkan tubuh. Tetapi kalau terlalu tebal maka akan menjadi panas. Itulah yang terjadi di bumi,” urainya. “Itu semua merupakan fenomena perubahan iklim, kenaikan temperatur, dan seterusnya. Maka kemudian para pemimpin dunia bersepakat mencoba menurunkan emisi CO2,” imbuh Deni dalam Kuliah Umum-nya.

“Apa yang akan terjadi di Indonesia pada tahun 2050, ketika kita tidak berbuat apa-apa, maka CO2 yang ada akan berakumulasi seperti dari sektor pembangkit listrik, transportasi, industri, dan lain-lain akan terus meningkat. Oleh karena itu kita harus segera bertransisi ke energi yang ramah lingkungan sehingga bisa memotong emisi karbon hingga separuhnya,” tegasnya.

Perlu energi pengganti yang jumlahnya berlimpah dan ramah terhadap lingkungan. “Jenis energi yang diyakini akan digunakan di masa depan dikenal dengan nama energi baru dan terbarukan (EBT),” katanya.

Terkait dengan konsep penyimpanan energi (energy storage) dapat disimpan dalam bentuk hidrogen, karena hal tersebut mampu menjembatani intermitensi dari Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti panel surya, kemudian hidrogen tersebut dapat diaplikasikan untuk sistem pembangkit seperti melalui teknologi fuel cell.

Saat ini teknologi EBT semakin murah karena semakin banyaknya pengembangan teknologi, contohnya teknologi panel surya. Serta tren yang menunjukkan semakin efektif dan berkurangnya biaya produksi teknologi tersebut. “Kita pun harus berkompetisi untuk terus membuat teknologi-teknologi yang semakin terjangkau dan berbasis material lokal” terangnya.

Di Indonesia saat ini akan segera dibangun pembangkit panel surya (PLTS) terapung (floating panel surya) di Waduk Cirata. "Teman-teman dari BRIN sudah melakukan studi awal, siap dikonstruksi dan target beroperasi yaitu November 2022 sudah terinstal untuk kapasitas daya output sebesar 145 MWAc," ucapnya.

Dalam paparannya yang menampilkan data World Economic Forum hingga April 2021, Indonesia menempati urutan keenam diantara negara-negara Asia Tenggara untuk nilai indeks transisi energi. “Hingga April 2021 ini bauran energi listrik dari energi baru dan terbarukan (EBT) di Indonesia baru mencapai sebesar 13,55%. Hal ini jauh dari target pada tahun 2025 adalah sebesar 23%,” jelas Deni. “Apa saja yang harus kita lakukan terkait kegiatan EBT, semoga kita bisa mendekati target 23%, dengan pemakaian panel surya dan seterusnya,” jelasnya.

Deni mencontohkan negara Vietnam, yang mampu meningkatkan sekitar 11 gigawatt (GW) listrik EBT dalam satu tahun. Salah satu teknologinya adalah energi terbarukan dengan komposisi 80% pembangkit listrik tenaga surya pada tahun 2030.

Riset terbaru tim 100 persen Renewable Energy dari Australian National University (ANU) mengungkapkan bahwa Indonesia mempunyai potensi energi surya berlimpah. Potensinya jauh lebih besar dibanding gabungan seluruh potensi energi terbarukan lainnya seperti air, angin, hingga panas bumi. Bahkan, potensi energi surya yang ada akan melampaui perkiraan konsumsi energi di tahun 2050.

Transisi energi merupakan komitmen nasional dan internasional maka EBT sangat berperan. “Saat ini kita masih mix, tetapi kita harus pintar dan bijak memperkenalkan teknologi Carbon Capture Utilization Storage (CCUS) untuk pengurangan dan pemanfaatan CO2. Kemudian untuk green energy sudah mengaplikasikan teknologi EV, Baterai, dan hidrogen,” tegasnya.

Kemudian smart energy, smart grid, dan energy conservation akan menjadi tren di masa depan. Transisi energi terkait dengan ketahanan energi merupakan hal fundamental untuk setiap negara.

Selain itu transisi energi akan mengalami missing link (tautan yang hilang) apabila tidak memanfaatkan teknologi hidrogen (H2). “Hidrogen itu tidak memiliki unsur karbon, betul-betul nol emisi. Oleh karena itulah teknologi hidrogen, penyimpanan hidrogen, transportasi hidrogen sangat krusial dalam rangka menuju target emisi nol (zero emission). Sehingga kedepan pengembangan hidrogen menjadi sesuatu yang wajib” tuturnya.

“Aplikasi hidrogen sudah diterapkan untuk transportasi kereta berbasis hidrogen di Jerman yang menyelesaikan uji coba 2 tahun dengan jarak tempuh percobaan 180.000 km yang menggunakan fuel cell berbahan bakar hidrogen. Kini telah diperkenalkan aplikasi fuel cell untuk pesawat terbang seperti Airbus dari Inggris dan kendaraan roda empat seperti Toyota, BMW, dan Jaguar dengan memanfaatkan teknologi fuel cell hidrogen,” sebutnya.

Untuk teknologi hydrogen sendiri dapat diaplikasikan juga untuk sistem Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) secara independent atau non-grid, sehingga dapat digunakan untuk mengecas (charging) mobil listrik (kendaraan listrk berbasis baterai), teknologi tersebut seperti NEXUS-e dari Jerman dan AFC Energy dari Inggris.

Saat ini, Deni dan tim BRIN telah melakukan kerja sama dengan Krakatau Steel tentang pemanfaatan mill scale (by product dari industri baja menjadi hematite). "Kemudian untuk pengembangan fuel cell sumber material yang digunakan berbasis lokal seperti dengan menggunakan La2O3, CaCO3, ZnO, dan Fe2O3 hasil pengolahan limbah industri mill scale," pungkasnya. (hrd/ ed. mfn, adl)